http://www.clocklink.com/embed.js">

Senin, 24 Juli 2017

Budaya Jepang Kabuki

Kabuki

Jepang merupakan salah satu negara yang maju di  bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun demikian, bangsa Jepang masih melestarikan nilai-nilai leluhur yang dimilikinya ke generasi berikutnya. Salah satu alasan kenapa bangsa jepang dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi yang diwariskan para leluhurnya adalah, karena masyarakat Jepang mempunyai kemampuan menggabungkan dua elemen yang berbeda yaitu antara elemen tradisional dan elemen modern sehingga menghasilkan kombinasi dua budaya yang sangat apik. Perkembangan bangsa Jepang berpegang pada nilai-nilai spiritual yang menjadi inspirasi, cara berpikir dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu meskipun terkenal sebagai negara maju, Jepang juga dikenal dengan ragam budaya yang masih popular sampai saat ini. Salah satunya adalah Kabuki.
Kabuki adalah salah satu kesenian Jepang yang berupa seni teater yang menggabungkan karakter lagu, tari, dan aksi tindakan, yang diwariskan secara turun temurun, dari bapak ke anak lelaki dalam suatu keluarga. Kabuki merupakan teater klasik yang mengalami evolusi pada awal abad ke-17. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh para aktor, kostum yang super-mewah, make-up yang mecolok (kumadori), serta penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di panggung. Kabuki mengajarkan segala sesuatu membutuhkan usaha perjuangan, tingkat ketelitian yang tinggi, serta adaptasi dengan dunia luar. Bentuk perjuangan ini dapat dilihat dari pemeliharaan kesenian Kabuki dahulunya menonjolkan sisi eksternal, namun sekarang lebih berupa isinya (internal). Seni tari Kabuki mendapat pengakuan UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Pengakuan ini diperoleh karena kemampuan bangsa Jepang dalam beradaptasi dengan teliti terhadap kemajuan dunia luar namun tetap menginovasi kesenian tradisionalnya agar tidak ketinggalan zaman dan menarik untuk diminati.


Kabuki diciptakan oleh rakyat biasa (shomin) sebagai sarana komunikasi yang memuat pemikiran, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat Jepang menengah bawah berfungsi sebagai sarana untuk untuk memperkenalkan Jepang kepada dunia. Dengan demikian untuk dapat mengapresiasi kesenian rakyat Jepang ini perlu mengkaji konsep keindahan dan makna simboliknya. Salah satu ekspresi keindahan kabuki terdapat dalam tehnik peran atau Enshutsu. Tehnik peran (enshutsu) di dalam kabuki ini mewujudkan ciri khas dari seni pertunjukan tersebut, karena di dalam tehnik peran (enshutsu) ini terdapat sebuah gaya  yang menjadi ciri khas kabuki tersebut.
Sejarah dan perkembangan drama klasik Kabuki Bentuk drama Kabuki diciptakan pada awal abad ke 17, oleh seorang wanita bernama Okuni yang berasal dari Kuil Izumo. Drama klasik ini berawal ketika gadis Okuni membentuk kelompok penyanyi dan penari untuk menyelenggarakan pertunjukkan seni guna mencari dana untuk kuil Izumo. Berhubung di dalam ajaran agama Budha, orang dilarang menyani dan menari di dalam kuil, maka Okuni dan kawan –kawannya melakukan pementasan seni yaitu nyanyian dan tarian secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, sehingga akhirnya mereka sampai ke kota. Pertunjukan yang disajikan yaitu tari-tarian dan kisah pendek. Teater kabuki dipopulerkan oleh Okuni yaitu seorang pemain kabuki yang terkenal melalui tariannya yang sensual dengan adegan-adegan yang erotik. Kemudian karena seringnya terjadi perkelahian di antara penonton, berkaitan dengan praktik prostitusi yang juga dilakukan para pemain, maka pada tahun 1629 di bawah pemerintahan Shogun (1603-1867) melarang pertunjukan kabuki. Setelah ada larangan dan pemerintahan Shogun, sebagai gantinya ditampilkan para wakashu (pemain anak lelaki yang baru mencapai puber). Dalam pertunjukan kabuki, para wakashu menjadi sangat terkenal karena parasnya yang sangat cantik seperti halnya para onna (pemain wanita), setelah memakai busana dan riasan seperti wanita. Busana kabuki untuk pemain pria dan wanita adalah kimono yang berwarna mencolok. Sedangkan riasannya disebut kumadori (hiasanmuka pada pemain) yang menggambarkan karakter yang pasti.Sementara itu, sebagai dampak dari kebijakan politik Sakoku, yang diterapkan oleh Shogun Tokugawa terkenal dengan sebutan politik pintu tertutup yaitu kebijakan untuk menutup diri dari dunia luar khususnya bagi dunia barat, melarang orang Jepang beperhgian keluar dari Jepang, hal ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya ideologi asing khususnya agama kristen yang bertentangan dengan feodalisme. Dengan diterapkannya politik pintu tertutup ini Jepang menglami masa kejayaan yang cukup lama karena terciptalah kedamaian dan perkembangan perekonomian dalam negeri. Dalam kondisi semacam itu, kelas sosial yang paling diuntungkan secara ekonomis adalah kelas pedagang dan pengrajin, Meskipun dalam strata sosial yang secara hirarkis mereka menempati posisi yang paling rendah dari kelas – kelas lainnya tetapi mereka memiliki banyak uang, modal dan kekayaan yang berlimpah. Dorongan lain bagi perkembangan ekonomi adalah Shogun Tokugawa menerapkankan sistem bermukim yang bergantian bagi para daimyo di Edo dikenal dengan istilah sankinkootai (参勤交代), untuk biaya perjalanan para bushi dari daerah menuju Edo dan sebaliknya memerlukan biaya yang cukup besar, maka mau tidak mau para bushi harus berurusan dengan kelas pedagang sebagai bankir . Dengan kekuatan uang dan kekayaan tersebut kaum pedagang dan pengrajin yang umumnya menjadi penduduk kota mulai tertarik untuk mengembangkan kebudayaan baru yang mempunyai simbol eksistensi mereka. Di kalangan warga masyarakat kota semacam inilah pementasan – pementasan seni seperti yang dilakukan oleh Okuni dan kawan-kawannya dari kuil Izumo menemukan lahan persemaian yang subur, sehingga kemudian berkembang menjadi seni drama klasik Kabuki.
Pertunjukan Kabuki dilaksanakan di panggung dan dimulai dari mengangkat aktor kabuki seolah-olah terbang hingga memutar panggung dan merubah seting panggung. Jenis kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori (kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan para okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan. Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari.
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut  Debayashi.
Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan pada zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tetapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki no sekai , Heike monogatari no sekai, Sogamono no sekai, atau Sumidagawamono no sekai. Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai yang kemungkinan besar berasal dari kata Geidai ( nama pertunjukan). Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume dōjōji (娘道成寺), karena 4 aksara kanji harus ditambah dengan Kyōkanoko (京鹿子) ) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul pertunjukan kabuki.
Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan yang diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan materi pementasan tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Pementasan yang dilakukan malam hari sesudah matahari terbenam tidak diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati orang dan pemerintah kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan pemerintah. Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama, antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.

Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi menyukai Sewamono, sehingga kabuki dalam pementasannya dituntut untuk bisa memuaskan selera semua kalangan penonton. Dalam usaha memuaskan selera penonton, pada pementasan kabuki sering dipertunjukkan dua cerita sekaligus, Jidaimono dan Sewamono yang dipisahkan dengan waktu istirahat. Pementasan dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak sedikit asalkan penonton senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai dari berbagai cerita dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai penonton saja. Pertunjukan seperti ini disebut Midori-kyōgen (konon berasal dari kata Yoridori midori yang dalam bahasa Jepang berarti serbaneka atau aneka ragam). Sebaliknya kyogen yang mementaskan keseluruhan cerita secara lengkap disebut Tōshi-kyōgen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar