Kabuki
Jepang merupakan salah satu negara yang
maju di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Meskipun demikian, bangsa Jepang masih melestarikan nilai-nilai leluhur
yang dimilikinya ke generasi berikutnya. Salah satu alasan kenapa bangsa jepang
dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi yang diwariskan para leluhurnya adalah,
karena masyarakat Jepang mempunyai kemampuan menggabungkan dua elemen yang
berbeda yaitu antara elemen tradisional dan elemen modern sehingga menghasilkan
kombinasi dua budaya yang sangat apik. Perkembangan bangsa Jepang berpegang
pada nilai-nilai spiritual yang menjadi inspirasi, cara berpikir dan berprilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu meskipun terkenal sebagai negara
maju, Jepang juga dikenal dengan ragam budaya yang masih popular sampai saat
ini. Salah satunya adalah Kabuki.
Kabuki adalah salah satu kesenian
Jepang yang berupa seni teater yang menggabungkan karakter lagu, tari, dan aksi
tindakan, yang diwariskan secara turun temurun, dari bapak ke anak lelaki dalam
suatu keluarga. Kabuki merupakan teater klasik yang mengalami evolusi pada awal
abad ke-17. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh
para aktor, kostum yang super-mewah, make-up yang mecolok (kumadori), serta
penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di panggung.
Kabuki mengajarkan segala sesuatu membutuhkan usaha perjuangan, tingkat
ketelitian yang tinggi, serta adaptasi dengan dunia luar. Bentuk perjuangan ini
dapat dilihat dari pemeliharaan kesenian Kabuki dahulunya menonjolkan sisi
eksternal, namun sekarang lebih berupa isinya (internal). Seni tari Kabuki
mendapat pengakuan UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia. Pengakuan ini diperoleh karena kemampuan bangsa Jepang
dalam beradaptasi dengan teliti terhadap kemajuan dunia luar namun tetap
menginovasi kesenian tradisionalnya agar tidak ketinggalan zaman dan menarik
untuk diminati.
Kabuki diciptakan oleh rakyat biasa
(shomin) sebagai sarana komunikasi
yang memuat pemikiran, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat Jepang menengah
bawah berfungsi sebagai sarana untuk untuk memperkenalkan Jepang kepada dunia.
Dengan demikian untuk dapat mengapresiasi kesenian rakyat Jepang ini perlu
mengkaji konsep keindahan dan makna simboliknya. Salah satu ekspresi keindahan
kabuki terdapat dalam tehnik peran atau Enshutsu.
Tehnik peran (enshutsu) di dalam
kabuki ini mewujudkan ciri khas dari seni pertunjukan tersebut, karena di dalam
tehnik peran (enshutsu) ini terdapat sebuah
gaya yang menjadi ciri khas kabuki
tersebut.
Sejarah dan perkembangan drama
klasik Kabuki Bentuk drama Kabuki diciptakan pada awal abad ke 17, oleh seorang
wanita bernama Okuni yang berasal dari Kuil Izumo. Drama klasik ini berawal
ketika gadis Okuni membentuk kelompok penyanyi dan penari untuk
menyelenggarakan pertunjukkan seni guna mencari dana untuk kuil Izumo.
Berhubung di dalam ajaran agama Budha, orang dilarang menyani dan menari di
dalam kuil, maka Okuni dan kawan –kawannya melakukan pementasan seni yaitu nyanyian
dan tarian secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, sehingga akhirnya
mereka sampai ke kota. Pertunjukan yang disajikan yaitu tari-tarian dan kisah
pendek. Teater kabuki dipopulerkan oleh Okuni yaitu seorang pemain kabuki yang
terkenal melalui tariannya yang sensual dengan adegan-adegan yang erotik.
Kemudian karena seringnya terjadi perkelahian di antara penonton, berkaitan
dengan praktik prostitusi yang juga dilakukan para pemain, maka pada tahun 1629
di bawah pemerintahan Shogun (1603-1867) melarang pertunjukan kabuki. Setelah
ada larangan dan pemerintahan Shogun, sebagai gantinya ditampilkan para wakashu (pemain anak lelaki yang baru
mencapai puber). Dalam pertunjukan kabuki, para wakashu menjadi sangat terkenal karena parasnya yang sangat cantik
seperti halnya para onna (pemain
wanita), setelah memakai busana dan riasan seperti wanita. Busana kabuki untuk
pemain pria dan wanita adalah kimono yang berwarna mencolok. Sedangkan riasannya
disebut kumadori (hiasanmuka pada
pemain) yang menggambarkan karakter yang pasti.Sementara itu, sebagai dampak
dari kebijakan politik Sakoku, yang
diterapkan oleh Shogun Tokugawa terkenal dengan sebutan politik pintu tertutup
yaitu kebijakan untuk menutup diri dari dunia luar khususnya bagi dunia barat,
melarang orang Jepang beperhgian keluar dari Jepang, hal ini dimaksudkan untuk
mencegah masuknya ideologi asing khususnya agama kristen yang bertentangan
dengan feodalisme. Dengan diterapkannya politik pintu tertutup ini Jepang
menglami masa kejayaan yang cukup lama karena terciptalah kedamaian dan
perkembangan perekonomian dalam negeri. Dalam kondisi semacam itu, kelas sosial
yang paling diuntungkan secara ekonomis adalah kelas pedagang dan pengrajin,
Meskipun dalam strata sosial yang secara hirarkis mereka menempati posisi yang
paling rendah dari kelas – kelas lainnya tetapi mereka memiliki banyak uang,
modal dan kekayaan yang berlimpah. Dorongan lain bagi perkembangan ekonomi adalah
Shogun Tokugawa menerapkankan sistem bermukim yang bergantian bagi para daimyo
di Edo dikenal dengan istilah sankinkootai
(参勤交代), untuk biaya
perjalanan para bushi dari daerah menuju Edo dan sebaliknya memerlukan biaya
yang cukup besar, maka mau tidak mau para bushi harus berurusan dengan kelas
pedagang sebagai bankir . Dengan kekuatan uang dan kekayaan tersebut kaum
pedagang dan pengrajin yang umumnya menjadi penduduk kota mulai tertarik untuk
mengembangkan kebudayaan baru yang mempunyai simbol eksistensi mereka. Di
kalangan warga masyarakat kota semacam inilah pementasan – pementasan seni
seperti yang dilakukan oleh Okuni dan kawan-kawannya dari kuil Izumo menemukan
lahan persemaian yang subur, sehingga kemudian berkembang menjadi seni drama
klasik Kabuki.
Pertunjukan Kabuki dilaksanakan di panggung
dan dimulai dari mengangkat aktor kabuki seolah-olah terbang hingga memutar
panggung dan merubah seting panggung. Jenis kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori
(kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan
dari masa kabuki masih dibawakan para okuni hingga di masa kepopuleran
Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan
konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa
berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi
drama yang ditampilkan. Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang
ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari.
Musik pengiring kabuki dibagi
berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari
arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain
itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang
dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Secara garis
besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan
pada zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen
disebut Maruhon mono yang
mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru.
Kabuki Maruhon mono juga dikenal
sebagai Gidayu-kyōgen, tetapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa
berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut
Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen
yang memainkan musik Gidayu-bushi.
Pada Ningyo Jōruri yang semua
penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru,
musik pengiring dimainkan dari Geza
(tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri
panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari
didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono.
Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut
Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar
cerita, misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki
no sekai , Heike monogatari no sekai,
Sogamono no sekai, atau Sumidagawamono
no sekai. Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan
tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan
cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai yang kemungkinan besar berasal
dari kata Geidai ( nama pertunjukan).
Judul pertunjukan (gedai) biasanya
ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume dōjōji (娘道成寺), karena 4 aksara kanji harus ditambah
dengan Kyōkanoko (京鹿子) ) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa
menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang
resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap
sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal
sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan
yang harus ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering
ditulis dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan
membaca judul pertunjukan kabuki.
Di zaman Edo, pementasan
Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang berwenang. Keshogunan Edo
biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan yang diadakan sejak matahari
terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan materi pementasan tidak
melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Pementasan yang dilakukan malam hari
sesudah matahari terbenam tidak diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak
diminati orang dan pemerintah kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan
melawan pemerintah. Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat
yang lama, antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang
menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan
satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.
Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi
menyukai Sewamono, sehingga kabuki
dalam pementasannya dituntut untuk bisa memuaskan selera semua kalangan
penonton. Dalam usaha memuaskan selera penonton, pada pementasan kabuki sering
dipertunjukkan dua cerita sekaligus, Jidaimono
dan Sewamono yang dipisahkan dengan
waktu istirahat. Pementasan dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak
sedikit asalkan penonton senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai
dari berbagai cerita dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai
penonton saja. Pertunjukan seperti ini disebut Midori-kyōgen (konon berasal dari kata Yoridori midori yang dalam bahasa Jepang berarti serbaneka atau
aneka ragam). Sebaliknya kyogen yang
mementaskan keseluruhan cerita secara lengkap disebut Tōshi-kyōgen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar